Penulis;
MARDIANTON, SE.I., M.Pd
FAISAL EFENDI, SH., ME
IRA SUMARNI, SE., ME
Jumlah halaman; 238
Ukuran Buku; A5 (14,8×21)
Versi Cetak: Tersedia
Versi E-Book: Tersedia
Berat; 0 Kg
Harga; Rp. 125.000
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan DISA memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Hingga menjelang 1940-an Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan belanda, yang pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia. selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Idonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah dactan seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk: walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965–1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%. Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, dari tahun ke tahun defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus membesar. Misalnya, APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan pemerintah rata-rata per tahun selama periode 1955-65 sekitar 151 juta rupiah (disebut rupiah “baru”), sedangkan besarnya pengeluaran pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah, atau lebih dari 100 persen lebih besar dari rata-rata pendapatannya.[1]
Jika pada tahun 1955 defisitnya baru 2 juta rupiah, maka pada tahun 1965 sudah mencapai lebih dari 1 miliar rupiah. Berarti, suatu kenaikan yang sangat signifikan selama jangka waktu tersebut. Jika pada tahun 1955 defisit anggaran baru sekitar 14 persen dari jumlah pendapatan pemerintah pada tahun yang sama, maka pada tahun 1965 defisitnya sudah hampir 200 persen dari besarnya pendapatan pada tahun yang sama. Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun non- fisik seperti pendanaan dari bank. Rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300 persen menjelang akhir periode Orde Lama. Hal ini didasarkan data yang dihimpun oleh Arndt (1994), indeks harga