Penulis: Dr. WILHELMUS RENYAAN, SH,MH
Editor: Moh Suardi
Jumlah halaman: 179
Ukuran Buku: A5 (14,5×21)
Versi Cetak: Tersedia
Versi Ebook: Tersedia
Berat: 0 Kg
Harga: Rp. 85.000
Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Maka seluruh tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia harus berpedoman pada norma-norma hukum. Hukum dibuat untuk kepentingan manusia agar hidup sejahtera yang didasarkan pada rasa keadilan. Salah satu perwujudan dari norma hukum tersebut adalah adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidaha (KUHP) yang ditegakkan dengan adanya hukum acara pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hukum acara pidana sendiri menganggap bahwa pembuktian merupakan bagian yang sangat esensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidak seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, proses pembuktian pidana merupakan inti pokok persidangan perkara pidana yang ada dalam sistem peradilan umum di Indonesia untuk mencari kebenaran materiil. Dalam hukum acara pidana, pembuktian memegang peranan yang sangat penting, sehingga pada hakikatnya pembuktian dimulai sejak diketahui adanya peristiwa hukum. Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum acara adalah rangkaian peraturan- peraturan yang memuat bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa atau penegak hukum, di antaranya yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pengadilan yang harus bertindak untuk mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Hakim sebagai penegak hukum dalam menyelesaikan suatu masalah mempunyai kewenangan bebas, artinya tidak ada lembaga yang lain yang dapat ikut campur atau mempengaruhi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif , dengan didasarkan pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana isinya berbunyi bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Bahwa menurut Pasal 183 KUHAP hakim memutus perkara pidana apabila didukung dua alat bukti dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.