Penulis: Dr. Muhammad Sabiq, M.Si. Dr. Sakaria To Anwar, M.Si. Arisnawawi, M.Si. Sadriani Ilyas, S,Sos. Ahmad Muhajir, S.Sos. Mohammad Aksyar, S.Sos. Marta Suharsih, S.Sos. Nurfadillah , S.Pd
Ukuran: A5 (14,8×21)
Jumlah halaman: 160
Versi cetak: Tersedia
Versi ebook: Tersedia
Stok: 0
Berat: 0 Kg
Harga: Rp. 85.000
Gender merupakan salah satu isu yang mencuat beberapa dekade belakangan ini seiring maraknya tindakan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Jika ditelusuri lebih dalam kekerasan dan pelecehan tersebut tidak hanya terjadi pada ranah aktual, namun juga pada ranah simbolik. Di mana sisi keperempuanan selalu dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Hal ini bisa diperhatikan dalam berita di media massa, perfileman, iklan dan sebagainya (Sobary, 1998). Keadaan ini tak ayal membangkitkan kepedulian sekelompok orang untuk meperjuangkan hak perempuan. Mereka yang kerap disebut sebagai feminis ini, secara perlahan melakukan berbagai tindakan, mulai dari aksi turun ke jalan sampai pergulatan argumentasi di
Kekuasaan patriarkis yang diterima laki-laki dari masyarakat telah dilanggengkan oleh berbagai elemen kebudayaan. Adat, norma, dan ajaran agama sebagai sumber nilai merupakan elemen terpenting dalam pewarisan itu. Diantara beberapa elemen tersebut, agama-lah yang dianggap sebagai penyumbang terbesar dalam menciptakan kesenjangan tersebut. Karena agama merupakan sumber nilai utama dan determinan terhadap kebudayaan yang lain. Maka dengan “menggugat” ajaran patriarkis yang bias gender dalam agama, diharapkan dapat menggoyah sendi yang menyokong kemapanan laki-laki selama ini. Selama ini, para penggiat gender cenderung melihat fenomena ini sebagai masalah perempuan, sehingga solusi yang diberikan lebih ditekankan kepada pribadi perempuan itu sendiri. Namun, disadari atau tidak, sesungguhnya permasalahan mendasar adalah masalah relasi antara perempuan dan laki-laki. Maka, dengan hanya memberi penekanan di salah satu pihak saja tentu tidak akan memberikan hasil yang efektif dalam terciptanya kesetaraan sebagaimana yang diharapkan selama ini. Laki-laki yang selama ini bertindak sebagai penyumbang ketidaksetaraan tersebut seharusnya juga dilibatkan dalam wacana ini. Tidak hanya perempuan yang harus menyadari dan menyuarakan kesetaraan, namun laki-laki sendiri harus menyadari bahwa perempuan setara dengan dirinya.